Agenda 

Tiga Orang Pembaca Buku

Mahan Jamil Hudani, lahir di dusun Peninjauan, Pekurun Utara, sebuah daerah pedalaman di Lampung utara. Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). dan Sarang Matahari Penggiat Sastra (SMPS). Kini juga aktif di Lembaga Literasi Indonesia. Karya tunggalnya yang telah terbit adalah kumpulan cerpen berjudul Raliatri (2016).

 

Ilustrasi, lukisan Iman Sembada.

 

“Dalam buku Germinal, Emile Zola menceritakan kehidupan para pemberontak di daerah pedalaman Jerman,” cerita Ferdi pada kami yang sedang berkumpul di ruang tengah. Ferdi kemudian dengan berapi-api seakan seorang pejuang yang sedang mengobarkan semangat para pemberontak untuk melawan kekuasaan yang tiran melanjutkan ceritanya. Kulihat teman-teman yang duduk melingkar di meja kontrakan tengah manggut-manggut menyimak dengan serius cerita Ferdi. Ini untuk yang kesekian kalinya aku mendengarkan langsung cerita Ferdi. Sesungguhnya cerita Ferdi itu mengandung kesalahan fatal. Pertama, novel Germinal tidak bercerita tentang para pemberontak, tetapi bercerita kehidupan para buruh tambang. Kedua, setting novel itu tidak di pedalaman Jerman, tetapi di Perancis selaras dengan sang sastrawan yang berasal dari negri tersebut. Jika aku juga tak salah ingat, Emile Zola adalah Sastrawan besar Perancis yang beraliran Naturalisme.

Beberapa hari lalu Ferdi juga bercerita tentang novel One Hundred Years of Solitude nya Gabriel Garcia Marquez dengan beberapa kesalahan pula. Ferdi bercerita jika setting cerita itu di Amerika serikat dan menceritakan kisah para petani anggur yang hidup tertindas. Aku yang ikut mendengarkan bisa menebak bahwa cerita yang Ferdi maksud adalah Grapes of Wrath nya John Ernst Steinbeck. Aku melihat di antara para pendengar yang manggut-manggut terkesima mendengar cerita Ferdi tersebut, terlihat Sodik yang paling antusias, Bahkan beberapa kali Sodik bertanya pada Ferdi yang ia jawab dengan sangat meyakinkan dan penuh percaya diri.

Memang tak semua yang Ferdi ceritakan salah, tentu sebagian ceritanya benar. Hanya saja pada beberapa hal ia tak tepat bahkan tak jarang mengandung kesalahan fatal.

Semua pendengar Ferdi yang rata-rata adalah mahasiswa smester awal dari fakultas Sastra seolah-olah hanyut dalam cerita Ferdi yang sebenarnya memang memiliki retorika bagus dalam bercerita. Ferdi tak ubahnya seorang orator ulung yang sedang menyampaikan orasi.

Menurut asumsiku Ferdi tak tuntas membaca buku-buku tersebut atau bisa jadi Ferdi hanya membaca sinopsis buku tersebut lalu ia menceritakan apa yang ia baca pada kami yang memang rata-rata mahasiswa baru yang belum tertarik banyak untuk membaca buku. Asumsiku yang lain adalah Ferdi mereka-reka dan mengembangkan sendiri cerita itu hanya dengan membaca satu atau dua halaman. Hampir semua di antara kami memang lebih suka menonton film atau menghabiskan waktu dengan bermain kartu poker, gaple atau nongkrong di kampus sambil cari-cari pacar. Asdi Kithink, Sam, Maryono, dan Emanuel malah sedang asyik-asyiknya berpacaran. Bahkan mereka sering mengajak pacar mereka ke kost. Rohman, Sigit, dan Harsoyo hanya asyik menonton TV. Adhie lebih senang bermain musik, dia telah memiliki grup band di kampusnya. Hampir tiap malam penghuni kost kami yang terdiri dari 14 kamar sering berkumpul bersama bermain poker.

***

“Mas Ferdi hebat ya Mud. Pengetahuannya luas. Pokoknya dia intelek banget,” kata Sodik padaku. Dia baru saja pulang dari kampus dan nyelonong ke kamarku. Suasana kost sedang sepi. Teman-teman yang lain aku rasa belum kembali dari kampus.

“Lihat saja kamarnya Mud, penuh dengan buku.” Lanjut Sodik. Aku tersenyum seakan mengiyakan pernyataan Sodik.

“Makanya Dik, kamu juga harus rajin membaca buku. Malu dong kalau kita pulang kampung menyandang status mahasiswa tapi kita tidak memiliki pengetahuan luas dan kompetensi.”

“Yaelah…Mahmud, kayak kamu rajin baca buku saja.”

“Nah mulai sekarang kita harus memulai membaca. Kita sisihkan sebagian uang jajan kita untuk membeli buku. Biar kita bisa seperti mas Ferdi,” usulku.

Sesungguhnya aku cukup rajin membaca buku sejak kecil. Di rumahku telah banyak buku. Tapi tentu saja tak kubawa ke kostku di kota ini. Setidaknya apa yang kuucapkan pada Sodik bisa menjadi suatu alasan kuat untuk kembali membeli buku. Aku juga tak enak jika nanti dianggap sok pintar karena aku adalah mahasiswa baru, Tentu berbeda dengan Ferdi yang merupakan senior di kontrakan ini, dan juga mahasiswa smester melayang di kampus. Pernah kutanyakan padanya, dia telah duduk di smester 13 katanya. Kesibukannya sebagai aktifis telah menyita waktunya untuk menyelesaikan skripsi. Apapun yang ia ceritakan pada teman-teman di kontrakan, mereka pasti mendengarnya penuh seksama dan bahkan membuat mereka sangat terkesima. Ferdi laksana dosen baru kami juga di kost “Pondok Jambu” ini. Hebatnya lagi saat Ferdi sedang berada di kontrakan dan duduk di ruang tengah, teman-teman akan segera berkumpul dan memintanya bercerita, atau setidaknya bertanya banyak hal pada Ferdi.

Apa yang kukatakan pada Sodik, ternyata ditanggapi dengan baik. Hari minggu ia mengajakku untuk membeli buku di sebuah toko buku besar dan terkenal di kota kami. Ini kesempatan baik, pikirku. Beberapa toko buku letaknya cukup jauh dari kost kami. Sodik memiliki sepeda motor sehingga aku bisa menghemat uang transport dan waktu untuk segera sampai ke sana. Dalam sebulan, aku dan Sodik bisa membeli buku dua kali. Pada saat awal bulan ketika kiriman uang dari orang tua kami datang, dan saat pertengahan bulan ketika kami membuka uang yang kami sisihkan di tabungan kami yang berupa kaleng bekas biskuit yang memang mudah dibuka. Memang tak banyak buku yang kami beli. Aku dan Sodik biasanya masing-masing membeli dua buku. Aku pasti bisa menyelesaikan membaca buku-buku tersebut, tapi Sodik yang masih pemula sebagai pembaca buku terkadang tak selesai. Itu berdasarkan pengakuannya sendiri meski kulihat semangat membacanya akan bangkit lagi saat ia membayangkan kehebatan Ferdi saat bercerita pada teman-teman.

“Ya kalau gitu kamu tak usah membeli empat buku. Cukup dua buku sebulan itu sudah bagus, yang penting rutin. Sayang kan kalau berhenti membaca,” saranku padanya.

“Aku mau sharing ke mas Ferdi lah. Minta saran darinya bagaimana bisa menjadi seorang pembaca buku yang hebat seperti dia,” ujar Sodik.

Saat aku dan Sodik datang ke Ferdi, dia mengajak kami ngobrol ke kamarnya. Memang kulihat buku-buku bertumpukan di kamarnya, meski jika kutaksir jumlah bukuku di rumah masih lebih banyak dari miliknya. Ferdi memberi saran-saran yang membangun pada Sodik. Saran Ferdi adalah sugesti yang mampu melambungkan impian Sodik, dan itulah kelebihan Ferdi. Orator sekaligus motivator.

Sejak saat itu, kami bertiga sering membaca buku bersama atau nongkrong di kamar secara bergantian. Terkadang di kamarku, di kamar Sodik dan terkadang di kamar Ferdi meski kemudian Ferdi pamit untuk sebuah acara organisasi. Aku menikmati dan mengamati betul akan kebiasaan Sodik dan Ferdi saat membaca buku.

Tiba-tiba aku punya ide jahil. Pikiranku tergelitik untuk menguji apakah benar Sodik dan Ferdi membaca buku hingga tuntas. Jika memang benar mereka tuntas dalam membaca buku, apakah mereka bisa menceritakan kembali isi buku tersebut, setidaknya gambaran buku tersebut.

Suatu ketika aku melihat Ferdi sedang membaca novel tebal berbahasa Inggris karya Leo Tolstoy yang berjudul Anna Karenina.

“Wah mantap buku ini mas. Ceritakan dong ke kami,” kataku.

“Tenang saja Mud, nanti kalau aku sudah selesai baca aku ceritakan pada kalian berdua dan teman-teman lain.” Jawab Ferdi.

Saat Ferdi pergi dan Sodik sedang asyik membaca buku, aku melihat Ferdi telah membaca buku itu pada halaman 389, Chapter XIII, part IV, volume one. Aku lalu memindahkan pembatas buku Ferdi di halaman 279, chapter XIV, part XIII. Besok nya tak ada komentar dari Ferdi. Lalu aku pindahkan lagi pembatas bukunya di halaman yang kadang telah ia baca, atau terkadang aku lompatkan pembatas buku pada halaman yang belum ia baca. Aku ulangi lagi beberapa kali pada beberapa buku lain yang sedang Ferdi baca baik yang dalam bahasa Inggris atau yang berbahasa Indonesia. Setidaknya aku telah memindahkan berkali-kali pada lima buku yang ia baca. Tak ada komentar darinya tentang itu meski jika aku tanya tentang isi buku itu, ia bisa menjawab dengan gaya yang meyakinkan meski penjelasannya singkat. Satu hal yang menarik lagi Ferdi ternyata banyak menambah-nambah sendiri saat ia sedang bercerita di depan teman-teman lain. Hal yang sama juga aku lakukan pada Sodik. Aku pindahkan secara diam-diam pembatas buku Sodik pada halaman yang telah ia baca. Baru dua kali aku lakukan itu pada buku pertama yang ia baca, ia telah berkomentar.

“Lho Mud, sepertinya aku sudah baca cerita ini kemarin.” ujar Sodik.

“Ya tidak apa-apa kamu baca lagi. Biar paham di luar kepala. Membaca yang baik memang harus berulang-ulang,” komentarku.

Hal itu aku ulangi lagi pada lain waktu. Sodik mengatakan hal yang sama padaku bahwa ia telah membaca bab itu. Ketika aku memindahkan pembatas bukunya pada Buku kedua yang ia baca, Sodik telah mengambil kesimpulan.

“Ini pasti ada yang jahil nih. Pasti ada seseorang yang telah memindahkan pembatas bukuku.” Kulihat Sodik mulai agak marah. Tapi aku pura-pura sibuk membaca buku. Aku pindahkan pembatas bukunya lagi, kali ini melompat beberapa puluh halaman karena ia membaca buku yang cukup tebal, Jalan Bandungan karya Nh.Dini.

“Wah benar ada yang jahil nih, ngajak ribut ini orang. Kemarin aku baca baru sampai hal 187, sekarang sudah pindah hal 214. Pikirnya aku tak tahu apa. Bukan kamu kan Mud yang memindahkan pembatas bukunya? Sodik mulai mencurigaiku. Untungnya tak ada Ferdi saat itu. Aku lalu jujur mengatakan padanya tentang maksud dan tujuanku. Kukatakan pula pada Sodik kalau aku juga melakukan hal yang sama pada Ferdi. Kesimpulanku bahwa Ferdi hanya membaca sinopsis buku-buku tersebut.

“Pantas Mas Ferdi cepat sekali membaca buku.” Sodik mengomentari kesimpulanku.

Sodik mendukung ideku dan tak marah lagi. Bahkan ia mengusulkan dirinya sendiri untuk membaca buku yang sama yang sedang Ferdi baca. Ketika aku katakan pada Sodik bahwa Ferdi sedang membaca buku tebal karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Arus Balik, ia menyanggupi.

“Kita kan punya banyak waktu untuk membaca, kuliah hanya sekitar tiga jam sehari,” begitu kata Sodik.

Ketika Ferdi bercerita tentang kejahatan Pati Unus seperti yang digambarkan dalam novel tersebut, Sodik dengan cara halus mengkritisinya hingga terjadi perdebatan agak sengit.

“Justru Pati Unus yang bergelar pangeran Sabrang Lor itu adalah protagonist dan pahlawan sejati mas,” pernyataan Sodik menohok Ferdi. Teman-teman lain yang biasanya tenang, kini mulai berkomentar riuh. Aku segera mengalihkan situasi yang mulai panas tersebut.

Kali lain Ferdi membaca trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari edisi baru dalam satu jilid. Sodik juga membacanya diam-diam. Ketika Ferdi bercerita tentang buku itu secara singkat, Sodik banyak bertanya. Pertanyaan Sodik makin menukik dalam. Aku lihat Ferdi mulai gelagapan. Teman-teman lain juga mulai bertanya dengan kritis meski mereka juga tak paham cerita dalam novel tersebut yang sesungguhnya telah menjadi kekayaan bangsa. Kali ini Ferdi emosi.

“Lho, tidak boleh marah dong mas. Ini kebebasan akademik yang selalu mas Ferdi gembor-gemborkan.” Sodik mencoba membela diri. Aku lalu membubarkan mimbar akademis kost “Pondok Jambu” itu.

***

Beberapa hari Ferdi tak pernah kumpul dengan kami. Ia cenderung menyibukkan diri di kampus. Jika sedang di kontrakan, ia sering menenggelamkan diri di kamar. Tapi aku perhatikan benar kalau ia sedang benar-benar membaca buku di kamarnya. Begitu juga Sodik, kini ia makin rajin membaca buku karena sejak mimbar akademis itu banyak teman tanpa sungkan bertanya padanya. Bahkan Rohman, Harsoyo dan Sigit juga mulai suka membaca. Aku rasa beberapa hari lagi akan ada diskusi hangat yang lebih ilmiah. Dan aku siap menjadi moderatornya.

 

Related posts

Leave a Comment

nineteen − one =